Syaikh Abu Muhammad Asy Syami
Dengan nama Allah ta’ala, shalawat dan salam atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Para fuqaha membagi anak-anak menjadi dua tingkatan, yang pertama: Anak yang belum mumayyiz, kedua: Anak yang telah Mumayyiz.
Tingkatan Pertama, Anak Kecil yang belum Mumayyiz yang tidak mengetahui sesuatu pun dari urusan para wanita, dan hal ihwalnya. Dan belum mampu mensifati dari urusan-urusan para wanita dan kecantikannya. Maka dihalalkan bagi anak seperti ini untuk masuk bersama para wanita. Dan para wanita tidak perlu menjaga jarak darinya dan diperbolehkan bagi wanita menampakkan perhiasan (aurat yang biasa nampak) di hadapannya. Akan tetapi, hal itu mesti dilakukan tidak melewati batas kebiasaan yang baik, menjaga malu dan apa yang menjadi kebiasaan yang baik bagi manusia. Jika melewati batas, ditakutkan pengaruh (buruk) nya, lebih khusus bila telah menjadi gambaran yang membekas di benak dan akalnya, maka akan menjadi lebih besar pengaruhnya.
Dalam tingkatan pertama ini, tidak mesti tergantung dengan usia si anak, hanya saja batasannya tergantung dengan apa yang telah disebutkan Rabbul Izzaty, dalam firman-Nya, “Atau anak-anak yang kedua mengerti aurat pada wanita.” QS. An Nur 31.
Di sisi lain ada anak-anak yang dipengaruhi lingkungan tempat ia tinggal (jadi tidak terikat dengan usia). Untuk mengetahui Mumayyiz dilihat dari sisi pandangannya, perkataannya dan penyifatannya terhadap para wanita. Mayoritas anak-anak di zaman sekarang di usia yang baru 7 tahun, kadang keadaannya sudah seperti usia 8-9 tahun, yang belum mumayyiz dengan kondisi tarbiyyah yang melingkupinya dalam lingkungan keluarga dan saudara-saudaranya.
Imam ibnu Qudamah -Rahimahullah- telah berkata, “Adapun anak muda, selama masih anak-anak yang belum mumayyiz, maka tidak wajib menutup aurat yang biasa nampak darinya, dan jika telah mumayyiz maka dalam hal ini ada dua riwayat (dari Imam Ahmad),” (Al Mughny)
Dikatakan di dalam Al Kahfi, “Siapa yang belum mumayyaiz baginya dari anak-anak, maka tidak wajib menutup darinya apa yang biasa nampak, karena Allah ta’ala telah berfirman, “Atau anak-anak yang mengetahui aurat para wanita.” An Nur 31
Telah dikatakan di dalam Al Mughny, yang dijadikan hujjah: “Adapun bagi Al Marohiq (anak yang hampir baligh), maka telah berkata Al Imam (Imam Ahmad –rahimahullah-), jika belum sampai batas baligh, maka ketika ia bercerita apa yang ia lihat (dari wanita), maka hal itu tidak dianggap, atau ketika ia menyampaikan (bercerita) tanpa disertai syahwat, maka ia dihukumi seperti mahrom. Tetapi jika (berceritanya) disertai syahwat, maka dihukumi seperti orang dewasa.
Al Kasani -rahimahullah- telah berkata, “Apabila anak kecil yang belum mengerti aurat para wanita dan tidak bisa membedakan antara yang aurat dengan yang bukan aurat, maka tidak apa-apa bagi para muslimah menampakkan auratnya (yang biasa nampak) kepada mereka karena Allah Ta’ala telah berfirman, “Atau anak-anak yang belum mengerti dari aurat para muslimah,” [QS An Nur 31] kecuali kepada yang telah disebutkan. Dan anak-anak secara bahasa maknanya As Shobiyyu, yaitu usia anak antara ketika dilahirkan hingga muhtalim (baligh) (Bada’i As Shona’i)
Tingkatan Kedua, Anak yang mumayyiz atau murohiq, yaitu anak mumayyiz yang mendekati baligh, atau anak yang telah mengerti membedakan aurat dengan yang bukan aurat, dan mengerti keadaan para wanita dan kecantikan mereka, serta ada ketertarikan terhadap aurat para wanita. Hal itu dapat diketahui dari perkataannya, pandangannya, keadaannya yang belum baligh dan tidak ada tanda-tanda syahwat padanya. Hal ini biasanya terjadi bagi anak yang telah melewati usia 9 tahun, hanya saja yang membedakan nanti dalam hal usia adalah pengaruh lingkungan dan masyarakat tempat tinggalnya, sebagaimana yang telah kami sebutkan di awal.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal apa saja yang dihalalkan bagi muslimah untuk menampakkan dari auratnya di hadapan anak-anak tingkatan kedua ini.
1. Pendapat Pertama, Dia seperti baligh (dianggap sudah dewasa). sebagaimana firman Allah ta’ala, “Atau anak-anak yang belum mengerti aurat para wanita.” [An Nur 31]. Sementara anak-anak pada tingkatan kedua ini telah mengerti aurat pada wanita, maka dihukumi seperti orang dewasa dalam hal haramnya memandang.
2. Pendapat kedua, Dia seperti Mahrom. Sebagaimana Firman Allah ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahayanya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan). Yaitu sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian luar (mu) di tengah hari, dan setelah shalat Isya’, itulah tiga aurat (waktu) bagimu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak pula bagi mereka selain dari tiga waktu itu, mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu, Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana.” QS An Nur 58.
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka juga meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin.
Demikianlah Allah ta’ala menjelaskannya ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana [QS An Nur 59]
(Dalil dari) surat An Nur ini menunjukkan Pembedaan antara orang dewasa dengan selainnya dalam hal memandang aurat dan izin. Dan menunjukkan pula untuk yang selain dewasa tidak perlu meminta izin, kecuali pada waktu-waktu yang telah ditetapkan (tiga waktu seperti dalam ayat).
3. Pendapat Ketiga, boleh baginya (anak tingkatan-tingkatan ini memandang apa saja, selain apa yang ada antara pusat perut hingga lutut (dari wanita).
Hal ini diqiyaskan atas aurat laki-laki di hadapan laki-laki lainnya, dan aurat wanita di hadapan wanita lainnya. Dan yang menunjukkan atasnya adalah dalil pembedaan antara anak mumayyiz dan dewasa.
Allah ta’ala berfirman, “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka meminta izin.” [QS An Nur 59]. Ayat ini menunjukkan bahwa selain baligh (dewasa) tidaklah meminta izin seperti orang dewasa.
Tetapi, dari hal-hal yang masih diragukan dari pendapat-pendapat tersebut, maka pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling kuat, dan pendapat ini dipegangi oleh jumhur fuqoha (Mayoritas ahli Fiqh). Bahwa anak mumayyiz dihukumi seperti mahrom dalam memandang aurat. Maka diperbolehkan bagi Muslimah menampakkan di hadapan mereka apa yang biasa nampak dalam kondisi melayani (keperluan-keperluan), seperti rambut, leher, dan kedua lengan dengan syarat aman dari fitnah dan syahwat. Hal ini dijadikan alasan oleh para fuqoha, sebagai syarat diperbolehkannya bagi mereka memandang seperti terhadap mahromnya.
Di dalam (Kitab) Manarus Sabil dikatakan, setelah menyebutkan tentang mahrom dan apa yang halal bagi mereka memandang kepadanya. Maka dikatakan bahwa diharamkan memandang dengan (disertai) syahwat atau khawatir timbul syahwat (membangkitkan syahwat) terhadap salah satu yang telah kami sebutkan.
Wallahu ‘alam…
Alih Bahasa: Abu Yusuf Al-Indunisiy
24 Dzul Hijjah 1432 H.
Mu’taqol Thaghut Jakarta Barat.
0 komentar:
Post a Comment