Judul Asli: Ikhlas dan Bahaya Riya
Penulis: Ustadz Firanda
Penulis: Ustadz Firanda
“Dari Amirul mu’minin Umar bin Al-Khotthob 
rodiallahu’anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi 
wasallam bersabda, Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan 
sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang 
berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan 
RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau 
wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. 
Al-Bukhari: 1).
Berkata Abdurrahman bin Mahdi, “Kalau seandainya 
aku menulis sebuah kitab yang terdiri atas bab-bab maka aku akan menjadikan 
hadits Umar bin Al-Khattab yaitu hadits Al A’maalu bin Niyyaat di setiap bab” 
(Jami’ul Ulum 1/8). 
Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini adalah 
sepertiga ilmu” (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Imam Ahmad berkata, “Pokok-pokok Islam ada tiga 
hadits, hadits Umar rodiallahu’anhu, ”Hanya saja amal-amal itu berdasarkan 
niatnya”, hadits ‘Aisyah rodiallahu’anha, Barangsiapa yang berbuat 
perkara-perkara yang baru dalam agama ini yang bukan dari agama maka ia 
tertolak” dan hadits Nu’man bin Basyir rodiallahu’anhu ”Yang halal jelas dan 
yang haram jelas”. (Jami’ul ‘Ulum 1/9).
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah 
pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif 
(lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah 
tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman 
Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 
3).
Maka perkara apa saja yang merupakan perkara 
agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, 
adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah 
(siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak 
menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang 
kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut 
kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) 
amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan 
oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak 
butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas 
ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas 
diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, 
dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik 
Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan 
dia dan ksyirikannya”).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal 
‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah 
keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, 
amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta 
(seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).
Definisi ikhlas menurut etimologi 
(menurut peletakan bahasa)
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorangpun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini. Hal ini sebagaimana firman Allah tentang wanita yang menghadiahkan dirinya untuk Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
Dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya 
kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan 
untuk semua orang mu’min. (QS. Al Ahzaab: 50).
Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu 
benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum daripada apa yang 
berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang 
mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya. (QS. An Nahl: 
66).
Maka tatkala mereka berputus asa daripada 
(putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. 
Berkatalah yang tertua diantara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa 
sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan 
sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan 
meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), 
atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah hakim yang 
sebaik-baiknya”. (QS. Yusuf: 80). Yaitu para 
saudara Yusuf menyendiri untuk saling berbicara diantara mereka tanpa ada orang 
lain yang menyertai pembicaraan mereka.
Definisi ikhlas menurut istilah syar’i 
(secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah “membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ada juga mengatakan bahwa ikhlas adalah 
“samanya amalan-amalan seorang hamba antara yang nampak dengan yang ada di 
batin”, adapun riya’ yaitu dzohir (amalan yang nampak) dari seorang hamba 
lebih baik daripada batinnya dan ikhlas yang benar (dan ini derajat yang lebih 
tinggi dari ikhlas yang pertama) yaitu batin seseoang lebih baik daripada 
dzohirnya, yaitu engkau menampakkan sikap baik dihadapan manusia adalah karena 
kebaikan hatimu, maka sebagaimana engkau menghiasi amalan dzohirmu dihadapan 
manusia maka hendaknya engkaupun menghiasi hatimu dihadapan Robbmu. 
Ada juga yang mengatakan bahwa ikhlas adalah, 
“melupakan pandangan manusia dengan selalu memandang kepada Allah”, 
yaitu engkau lupa bahwasanya orang-orang memperhatikanmu karena engkau selalu 
memandang kepada Allah, yaitu seakan-akan engkau melihat Allah yaitu sebagaimana 
sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tentang ihsan “Engkau beribadah 
kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya dan jika engkau tidak melihatNya maka 
sesungguhnya Ia melihatmu”. Barangsiapa yang berhias dihadapan manusia 
dengan apa yang tidak ia miliki (dzohirnya tidak sesuai dengan batinnya) maka ia 
jatuh dari pandangan Allah, dan barangsiapa yang jatuh dari pandangan Allah maka 
apalagi yang bermanfaat baginya? Oleh karena itu hendaknya setiap orang takut 
jangan sampai ia jatuh dari pandangan Allah karena jika engkau jatuh dari 
pandangan Allah maka Allah tidak akan perduli denganmu dimanakah engkau akan 
binasa, jika Allah meninggalkan engkau dan menjadikan engkau bersandar kepada 
dirimu sendiri atau kepada makhluk maka berarti engkau telah bersandar kepada 
sesuatu yang lemah, dan terlepas darimu pertolongan Allah, dan tentunya balasan 
Allah pada hari akhirat lebih keras dan lebih pedih. (Dari ceramah beliau yang 
berjudul ikhlas. Definisi-definisi ini sebagaimana juga yang disampaikan oleh 
Ahmad Farid dalam kitabnya “Tazkiyatun Nufus” hal. 13).
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Ikhlas itu bukan 
hanya terbatas pada urusan amalan-amalan ibadah bahkan ia juga berkaitan dengan 
dakwah kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam saja (tetap) 
diperintahkan oleh Allah untuk ikhlas dalam dakwahnya”.
Katakanlah, “Inilah jalanku (agamaku). Aku 
dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang 
nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. 
Yusuf: 108).
Yaitu dakwah hanyalah kepada Allah bukan 
kepada yang lainnya, dan dakwah yang membuahkan keberhasilan adalah dakwah yang 
dibangun karena untuk mencari wajah Allah. Aku memperingatkan kalian jangan 
sampai ada diantara kita dan kalian orang-orang yang senang jika dikatakan bahwa 
kampung mereka adalah kampung sunnah, senang jika masjid-masjid mereka disebut 
dengan masjid-masjid ahlus sunnah, atau masjid mereka adalah masjid yang pertama 
yang menghidupkan sunnah ini dan sunnah itu, atau masjid pertama yang 
menghadirkan para masyayikh salafiyyin dalam rangka mengalahkan selain mereka, 
namun terkadang mereka tidak sadar bahwa amalan mereka hancur dan rusak padahal 
mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat yang sebaik-baiknya. Dan ini adalah 
musibah yang sangat menyedihkan yaitu syaitan menggelincirkan seseorang 
sedikit-demi sedikit hingga terjatuh ke dalam jurang sedang ia menyangka bahwa 
ia sedang berada pada keadaan yang sebaik-baiknya. Betapa banyak masjid yang aku 
lihat yang Allah menghancurkan amalannya padahal dulu jemaahnya dzohirnya berada 
di atas sunnah karena disebabkan rusaknya batin mereka, dan sebab 
berlomba-lombanya mereka untuk dikatakan bahwa jemaah masjid adalah yang pertama 
kali berada di atas sunnah, hendaknya kalian berhati-hati…” 
(Dari ceramah beliau yang berjudul 
ikhlas).
Syuhroh 
(Popularitas)
Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar. Na’udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).
Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. 
Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya 
dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya 
bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya 
panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah dilihat oleh 
Syaikh Abdur Rozaq), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun 
sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang 
model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umroh), ada yang dipotong seperti 
warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan 
kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun 
tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang 
banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah 
telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan 
demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah mereka itu tinggal 
di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia 
hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan 
hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang 
memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal diantara para 
hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.
Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya 
menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga 
menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang 
bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah 
juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang 
lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang 
pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi dihadapan manusia. Penyakit inilah 
yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah 
(pingin didengar orang). 
Manusia begitu bersemangat untuk menutupi 
kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil 
apapun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka 
menginginkan mendapatkan kehormatan dimata manusia. Dengan terungkapnya 
kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia. 
Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, -sekecil apapun 
kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapapun orangnya (saudaranya, 
sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan istrinya) tidak ada yang 
mengetahui kebaikannya- , tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlisin 
(orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya 
mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena 
mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah. Berkata Abu Hazim Salamah bin 
Dinar “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan 
kejelekan-kejelekanmu.” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni , 
“Diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (1/679), dan Abu 
Nu’aim dalam Al-Hilyah (3/240), dan Ibnu ‘Asakir dalam tarikh Dimasyq (22/68), 
dan sanadnya sohih”. Lihat Sittu Duror hal. 45).
Dalam riwayat yang lain yang diriwayatkan oleh 
Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah 
kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan 
janganlah engkau kagum dengan amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu 
apakah engkau termasuk orang yang celaka (masuk neraka) atau orang yang bahagia 
(masuk surga)”.
Berkata Syaikh Abdul Malik, “Namun mengapa 
kita tidak melaksanakan wasiat Abu Hazim ini?? Kenapa??, hal ini menunjukan 
bahwa keikhlasan belum sampai ke dalam hati kita sebagaimana yang dikehendaki 
Allah” (Dari ceramah beliau yang berjuduk ikhlas).
Oleh karena itu banyak para imam salaf 
yang benci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak 
disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. 
Hal ini demi untuk menjaga keihlasan mereka, dan karena mereka kawatir hati 
mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia. 
Berkata Hammad bin Zaid: “Saya pernah berjalan 
bersama Ayyub (As-Sikhtyani), maka diapun membawaku ke jalan-jalan cabang 
(selain jalan umum yang sering dilewati manusia-pen), saya heran kok dia bisa 
tahu jalan-jalan cabang tersebut ?! (ternyata dia melewati jalan-jalan kecil 
yang tidak dilewati orang banyak) karena takut manusia (mengenalnya dan) 
mengatakan, “Ini Ayyub” (Berkata Syaikh Abdul Malik Romadhoni: “Diriwayatkan 
oleh Ibnu Sa’ad (7/249), dan Al-Fasawi dalam Al-Ma’rifah wa At-Tarikh (2/232), 
dan sanadnya shahih.” (Sittu Duror hal 46)).
Berkata Imam Ahmad: “Aku ingin tinggal di 
jalan-jalan di sela-sela gunung-gunung yang ada di Mekah hingga aku tidak 
dikenal. Aku ditimpa musibah ketenaran”. (As-Siyar 11/210).
Tatkala sampai berita kepada Imam Ahmad 
bahwasanya manusia mendoakannya dia berkata: “Aku berharap semoga hal ini 
bukanlah istidroj”. (As-Siyar 11/211). 
Imam Ahmad juga pernah berkata tatkala tahu bahwa 
manusia mendoakan beliau: “Aku mohon kepada Allah agar tidak menjadikan kita 
termasuk orang-orang yang riya”. (As-Siyar 11/211).
Pernah Imam Ahmad mengatakan kepada salah seorang 
muridnya (yang bernama Abu Bakar) tatkala sampai kepadanya kabar bahwa manusia 
memujinya: “Wahai Abu Bakar, jika seseorang mengetahui (aib-aib) dirinya maka 
tidak bermanfaat baginya pujian manusia”. (As-Siyar 11/211).
Berkata Hammad, “Pernah Ayyub membawaku ke jalan 
yang lebih jauh, maka akupun perkata padanya, “Jalan yang ini yang lebih dekat”, 
maka Ayyub menjawab: ”Saya menghindari majelis-majelis manusia (menghindari 
keramaian manusia-pen)”. Dan Ayyub jika memberi salam kepada manusia, mereka 
menjawab salamnya lebih dari kalau mereka menjawab salam selain Ayyub. Maka 
Ayyub berkata: ”Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya tidaklah 
menginginkan hal ini !, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa saya 
tidaklah menginginkan hal ini!.” Berkata Syaikh Abdul Malik: ”Diriwayatkan oleh 
Ibnu Sa’d (7/248) dan Al-Fasawi (2/239), dan sanadnya shahih”. (Sittu Duror hal 
47).
Berkata Abu Zur’ah Yahya bin Abi ‘Amr, 
“Ad-Dlohhak bin Qois keluar bersama manusia untuk sholat istisqo (sholat untuk 
minta hujan), namun hujan tak kunjung datang, dan mereka tidak melihat adanya 
awan. Maka beliau berkata: ”Dimana Yazid bin Al-Aswad?” (Dalam riwayat yang 
lain: Maka tidak seorangpun yang menjawabnya, kemudian dia berkata: ”Dimana 
Yazid bin Al-Aswad?, Aku tegaskan padanya jika dia mendengar perkataanku ini 
hendaknya dia berdiri”), maka berkata Yazid :”Saya di sini!”, berkata 
Ad-Dlohhak: ”Berdirilah!, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan bagi 
kami!”. Maka Yazid pun berdiri dan menundukan kepalanya diantara dua bahunya, 
dan menyingsingkan lengan banjunya lalu berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya para 
hambaMu memintaku untuk berdoa kepadaMu”. Lalu tidaklah dia berdoa kecuali tiga 
kali kecuali langsung turunlah hujan yang deras sekali, hingga hampir saja 
mereka tenggelam karenanya. Kemudian dia berkata: ”Ya Allah, sesungguhnya hal 
ini telah membuatku menjadi tersohor, maka istirahatkanlah aku dari ketenaran 
ini”, dan tidak berselang lama yaitu seminggu kemudian diapun meninggal.” Lihat 
takhrij kisah ini secara terperinci dalam buku Sittu Duror karya Syaikh Abdul 
Malik Romadloni hal. 47.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana Yazid 
Al-Aswad merasa tidak tentram dengan ketenarannya bahkan dia meminta kepada 
Allah agar mencabut nyawanya agar terhindar dari ketenarannya. Ketenaran di mata 
Yazid adalah sebuah penyakit yang berbahaya, yang dia harus menghindarinya 
walaupun dengan meninggalkan dunia ini. Allahu Akbar.. ! inilah 
akhlak salaf (Berkata Guru kami Syaikh Abdul Qoyyum, “Adapun orang-orang yang 
memerintahkan para pengikutnya atau rela para pengikutnya mencium tangannya lalu 
ia berkata bahwa ia adalah wali Allah maka ia adalah dajjal”). Namun banyak 
orang yang terbalik, mereka malah menjadikan ketenaran merupakan kenikmatan yang 
sungguh nikmat sehingga mereka berusaha untuk meraihnya dengan berbagai macm 
cara.
Dari Abu Hamzah Ats-Tsumali, beliau berkata: ”Ali 
bin Husain memikul sekarung roti diatas pundaknya pada malam hari untuk dia 
sedekahkan, dan dia berkata, ”Sesungguhnya sedekah dengan tersembunyi memadamkan 
kemarahan Allah”. Ini merupakan hadits yang marfu’ dari Nabi, yang diriwayatkan 
dari banyak sahabat, seperti Abdullah bin Ja’far, Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu 
“Abbas, Ibnu Ma’ud, Ummu Salamah, Abu Umamah, Mu’awiyah bin Haidah, dan Anas bin 
Malik. Berkata Syaikh Al-Albani: ”Kesimpulannya hadits ini dengan jalannya yang 
banyak serta syawahidnya adalah hadits yang shahih, tidak diragukan lagi. Bahkan 
termasuk hadits mutawatir menurut sebagian ahli hadits muta’akhirin” 
(As-Shohihah 4/539, hadits no. 1908).
Dan dari ‘Amr bin Tsabit berkata, ”Tatkala Ali 
bin Husain meninggal mereka memandikan mayatnya lalu mereka melihat bekas hitam 
pada pundaknya, lalu mereka bertanya: ”Apa ini”, lalu dijawab: ”Beliau selalu 
memikul berkarung-karung tepung pada malam hari untuk diberikan kepada faqir 
miskin yang ada di Madinah”.
Berkata Ibnu ‘Aisyah: ”Ayahku berkata kepadaku: 
”Saya mendengar penduduk Madinah berkata: ”Kami tidak pernah kehilangan sedekah 
yang tersembunyi hingga meninggalnya Ali bin Husain” Lihat ketiga atsar tersebut 
dalam Sifatus Sofwah (2/96), Aina Nahnu hal. 9.
Lihatlah bagaimana Ali bin Husain menyembunyikan 
amalannya hingga penduduk Madinah tidak ada yang tahu, mereka baru tahu tatkala 
beliau meninggal karena sedekah yang biasanya mereka terima di malam hari 
berhenti, dan mereka juga menemukan tanda hitam di pundak beliau.
Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari 
”Bagaimana sholat malam engkau”, maka marahlah Tamim, sangat marah, 
kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja sholatku ditengah malam, 
tanpa diketahui (orang lain), lebih aku sukai daripada aku sholat semalam penuh 
kemudian aku ceritakan pada manusia” (Dinukil dari kitab Az- Zuhud, Imam 
Ahmad).
Tidak seorangpun diantara kita yang meragukan 
akan kesungguhan para sahabat dalam beribadah. Namun walaupun demikian, mereka 
tidaklah ujub, atau memamerkan amalan mereka kapada manusia, jauh sekali dengan 
kita. Adapun sebagian kita (atau sebagian besar, atau seluruhnya (kecuali yang 
dirahmati oleh Allah), Allahu Al-Musta’an, sudah amalannya 
sedikit, namun diceritakan kemana-mana (Bahkan kalau bisa orang sedunia 
mengetahuinya). Ada yang berkata, ”Dakwah saya disana…, disini…”, ada 
juga yang berkata,”Yang menghadiri majelis saya jumlahnya sekian dan sekian…” 
(padahal kalau dihitung belum tentu sebanyak yang disebutkan, atau memang benar 
yang hadir majelisnya banyak tetapi tidak selalu. Terkadang yang hadir dalam 
sebagian majelisnya cuma sedikit, namun tidak dia ceritakan, atau yang hadir 
banyak tapi pada ngantuk semua, juga tidak dia ceritakan. Pokoknya dia ingin 
gambarkan pada manusia bahwa dia adalah da’i favorit), ada yang 
berkata, “Saya sudah baca kitab ini, kitab itu.. hal ini sebagaimana termuat 
dalam kitab ini atau kitab itu…”(padahal belum tentu satu kitabpun dia baca dari 
awal hingga akhir, atau bahkan belum tentu dia baca sama sekali secara langsung 
kitab itu. Namun dia ingin gambarkan pada manusia bahwa mutola’ahnya banyak, 
agar mereka tahu bahwa dia adalah orang yang berilmu dan gemar membaca). Yang 
mendorong ini semua adalah karena keinginan mendapat penghargaan dan 
penghormatan dari manusia. 
Lihatlah Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang 
bisa mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang 
yang bertanya tentang ibadahnya. Namun sebaliknya, sebagian kaum muslimin 
sekarang justru menjadikan kesempatan pertanyaan seperti itu untuk bisa 
menceritakan seluruh ibadahnya, bahkan menanti-nanti untuk ditanya tentang 
ibadahnya, atau dakwahnya, atau perkara yang lainnya.
Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang malam, dan 
jika menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya. Dan 
jika telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya seakan-akan dia baru 
saja bangun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 
3/8).
Berkata Muhammad bin A’yun, ”Aku bersama Abdullah 
bin Mubarok dalam peperangan di negeri Rum. Tatkala kami selesai sholat isya’ 
Ibnul Mubarok pun merebahkan kepalanya untuk menampakkan padaku bahwa dia sudah 
tertidur. Maka akupun –bersama tombakku yang ada ditanganku- menggenggam 
tombakku dan meletakkan kepalaku diatas tombak tersebut, seakan-akan aku juga 
sudah tertidur. Maka Ibnul Mubarok menyangka bahwa aku sudah tertidur, maka 
diapun bangun diam-diam agar tidak ada sorangpun dari pasukan yang mendengarnya 
lalu sholat malam hingga terbit fajar. Dan tatkala telah terbit fajar maka 
diapun datang untuk membagunkan aku karena dia menyangka aku tidur, seraya 
berkata “Ya Muhammad bangunlah!”, Akupun berkata: ”Sesungguhnya aku tidak 
tidur”. Tatkala Ibnul Mubarok mendengar hal ini dan mengetahui bahwa aku telah 
melihat sholat malamnya maka semenjak itu aku tidak pernah melihatnya lagi 
berbicara denganku. Dan tidak pernah juga ramah padaku pada setiap 
peperangannya. Seakan-akan dia tidak suka tatkala mengetahui bahwa aku 
mengetahui sholat malamnya itu, dan hal itu selalu nampak di wajahnya hingga 
beliau wafat. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih menymbunyikan 
kebaikan-kebaikannya daripada Ibnul Mubarok” (Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ibnu Abi 
Hatim 1/266).
Wahai saudaraku, ketahuilah… sesungguhnya ikhlas 
adalah sesuatu yang sangat berat, penuh perjuangan untuk bisa meraihnya. 
Pintu-pintu yang bisa dimasuki syaitan untuk bisa merusak keikhlasan kita 
terlalu banyak. Tatkala kita sedang beramal maka syaitanpun berusaha untuk bisa 
menjadikan kita riya’, kalau tidak bisa menjadikan kita riya’ di permulaan amal, 
maka dia akan berusaha agar kita riya’ di pertengahan amal. Kalau tidak mampu 
lagi maka di akhir amalan kita. Oleh karena itu kita dapati para salaf dahulu 
memngecek niat mereka ditengah amalan mereka, apakah masih tetap ikhlas atau 
sudah berubah?. Diriwayatkan dari Sualaiman bin Dawud Al-Hasyimi: ”Terkadang 
saya menyampaikan sebuah hadits dan niat saya ikhlas, (namun) tatkala saya 
sampaikan sebagian hadits tersebut berubahlah niat saya, ternyata satu hadits 
saja membutuhkan banyak niat” Disebutkan oleh Al-Khotib Al-Bagdadi dalam Tarikh 
beliau (9/31), Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal (11/412), dan Ad-Dazahabi dalam 
Siyar (10/625), lihat Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal 83, tahqiq 
Al-Arnauth).
Lihatlah bagaimana hati-hatinya salaf dalam 
menjaga niat mereka, untuk bisa menyampaikan satu hadits saja (yang mungkin 
hanya beberapa buah kata) dia memperhatikan niatnya berulang-ulang. Bagaimana 
dengan kita sekarang? Bukan cuma berpuluh-puluh kata yang kita lontarkan, bahkan 
beribu-ribu kata (tatkala mengisi pengajian, atau memberi pendapat atau nasehat 
tatkala diminta, atau yang lainnya…) pernahkah kita mengecek niat kita 
disela-sela pembicaraan kita??. Terkadang seseorang di awal sedang mengisi 
pengajian, dia mendapati niatnya ikhlas. Namun tatkala di tengah pengajian, 
disaat dia memandang bagaimana para pendengarnya terkagum-kagum dengan 
kefasihannya melontarkan dalil disaat itulah syaitan berperan aktif untuk 
merubah niatnya. Waspadalah wahai para saudaraku… sesungguhnya hanya 
sedikit yang selamat dari tipu daya syaitan.
Sungguh benarlah perkataan Sufyan Ats-Tsauri, 
”Saya tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada niat, karena 
niat itu berbolak-balik (berubah-ubah)” (Hilyatul Auliya (7/ hal 5 dan 62), 
lihat Jami’ul ‘Ulul wal Hikam hal 70, tahqiq Al-Arnauth).
Kalau seseorang telah selamat dari tipu daya 
syaitan hingga selesai amalnya, ingatlah…syaitan tidak putus asa. Dia mulai 
menggelitik hati orang tersebut dan merayu orang tersebut untuk menceritakan 
amalan solehnya pada manusia, dan syaitan menipunya dengan berkata, ”Ini 
bukanlah riya…, supaya kamu bisa dicontohi manusia…”. Akhirnya terjebaklah orang 
tersebut dan diapun mengungkapkan kebaikan-kebaikannya dihadapan orang, maka 
bisa jadi diapun menceritakan kabaikan-kebaikannya pada manusia karena riya’, 
maka ini merupakan kecelakaan baginya, atau kalau tidak maka minimal pahalanya 
berkurang. Karena pahala amalan yang sirr (disembunyikan) lebih baik 
daripada amalan yang diketahui orang lain. 
Allah berfirman, yang artinya:
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
“Jika kalian menampakkan sedekah kalian maka itu adalah baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan kalian berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikanya itu lebih baik bagi kalian. Dan Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-kesalahan kalian, dan Allah maha mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Baqoroh: 271).
Berkata Ibnu Kasir dalam Tafsirnya, ”Asalnya 
isror (amalan secara tersembunyi tanpa diketahui orang lain) adalah lebih afdol 
dengan dalil ayat ini dan hadits dalam shohihain (Bukhori dan Muslim) dari Abu 
Huroiroh, beliau berkata: “Berkata Rasulullah : ”Tujuh golongan yang berada 
dibawah naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan Allah, 
Imam yang adil, dan seorang yang bersedekah lalu dia menyembunyikannya hingga 
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya” 
Diriwayatkan oleh Al-Bukhori (1423) dan Muslim (2377). Berkata Imam Nawawi: 
”Berkata para Ulama bahwanya penyebutan tangan kanan dan kiri menunjukan 
kesungguhan dan sangat dismbunyikannya serta tidak diketuhinya sedekah. 
Perumpamaan dengan kedua tangan tersebut karena dekatnya tangan kanan dengan 
tangan kiri, dan tangan kanan selalu menyertai tangan kiri. Dan maknanya adalah 
seandainya tangan kiri itu seorang laki-laki yang terjaga maka dia tidak akan 
mengetahui apa yang diinfak oleh tangan kanan karena saking disembunyikannya.” 
(Al-Minhaj 7/122), hal ini juga sebagaimana penjelasan Ibnu Hajr (Al-Fath 
2/191).
Rosulullah bersabda: ”Tatkala Allah 
menciptakan bumi, bumi tersebut bergoyang-goyang, maka Allah pun menciptakan 
gunung-gunung kalau Allah lemparkan gunung-gunung tersebut di atas bumi maka 
tenanglah bumi. Maka para malaikatpun terkagum-kagum dengan penciptaan gunung, 
mereka berkata, ”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhluk Mu yang lebih kuat 
dari gunung?” Allah berkata, “Ada yaitu besi”. Lalu mereka bertanya (lagi), 
”Wahai Tuhan kami, apakah ada dari makhlukMu yang lebih kuat dari besi?”, Allah 
menjawab, ”Ada yaitu api.”, mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah 
ada makhluk Mu yang lebih kuat dari pada api?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air”, 
mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat 
dari pada air?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu air” mereka bertanya (lagi), ”Wahai 
Tuhan kami, apakah ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada air?”, Allah 
menjawab, ”Ada yaitu angin” mereka bertanya (lagi), ”Wahai Tuhan kami, apakah 
ada makhlukMu yang lebih kuat dari pada angin?”, Allah menjawab, ”Ada yaitu 
seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya lalu dia sembunyikan 
agar tidak diketahui tangan kanannya”. Diriwayatkan oleh Imam Ahamad dalam 
Musnadnya 3/124 dari hadits Anas bin Malik. Berkata Ibnu Hajar, ”Dari hadits 
Anas dengan sanad yang hasan marfu’” (Al-Fath 2/191).
Sungguh benar orang yang berkata, “Jangan heran 
kalau engkau melihat seorang yang bisa jalan di atas air, karena syaitan juga 
bisa berjalan di atas air. Janganlah heran kalau engkau melihat seorang yang 
berjalan terbang diudara, karena syaitan juga bisa terbang di udara. Tapi 
heranlah engkau jika engkau melihat seorang yang bersedekah dengan tangan 
kanannya namun tangan kirinya tidak mengetahuinya, karena syaitan tidak 
bersedekah (apalagi dengan ikhlas) (Untaian kalimat ini, penulis tidak 
mengetahui siapa yang mengucapkannya. Namun penulis pernah mendengarnya dari 
seorang petugas penjaga mushola dikapal laut, tatkala menyampaikan nasehat pada 
awak penumpang kapal. Mungkin saja dialah yang mengucapkan perkataan ini pertama 
kali. Namun bagaimanapun perkataan ini benar maknanya jika ditinjau dari 
kacamata syar’i, Wallahu A’lam).
Ingat perkataan Ibnul Qoyyim, “Tidaklah akan 
berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung 
dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana 
terkumpulnya air dan api…” (Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali 
Hasan, hal 423). Wahai Dzat yang membolak-balikan hati-hati (manusia) 
tetapkanlah hatiku di atas agamaMu.
Hukum menyembunyikan 
amal
Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Para ulama menjelaskan bahwa keutamaan menyembunyikan amalan kebajikan (karena hal ini lebih menjauhkan dari riya) itu hanya khusus bagi amalan-amalan mustahab bukan amalan-amalan yang wajib. Berkata Ibnu Hajar: ”At-Thobari dan yang lainnya telah menukil ijma’ bahwa sedekah yang wajib secara terang-terangan lebih afdhol daripada secara tersembunyi. Adapun sedekah yang mustahab maka sebaliknya.” (Al-Fath 3/365). Sebagian mereka juga mengecualikan orang-orang yang merupakan teladan bagi masyarakat, maka justru lebih afdhol bagi mereka untuk beramal terang-terangan agar bisa diikuti dengan syarat mereka aman dari riya’, dan hal ini tidaklah mungkin kecuali jika iman dan keyakinan mereka yang kuat.
Imam Al-Iz bin Abdus Salam telah menjelaskan 
hukum menyembunyikan amalan kebajikan secara terperinci sebagai berikut. Beliau 
berkata, “Keta’atan (pada Allah) ada tiga:
- 
Yang pertama, adalah amalan yang disyariatkan secara dengan dinampakan seperti adzan, iqomat, bertakbir, membaca Quran dalam sholat secara jahr, khutbah-kutbah, amar ma’ruf nahi mungkar, mendirikan sholat jumat dan sholat secara berjamaah, merayakan hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, mengantar jenazah, maka hal-hal seperti ini tidak mungkin disembunyikan. Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut riya, maka hendaknya dia berusaha bersungguh-sungguh untuk menolaknya hingga dia bisa ikhlas kemudian dia bisa melaksanakannya dengan ikhlas, sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya dan juga pahala karena kesungguhannya menolak riya, karena amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
- 
Yang kedua, amalan yang jika diamalkan secara tersembunyi lebih afdhol dari pada jika dinampakkan. Contohnya seperti membaca qiro’ah secara perlahan tatkala sholat (yaitu sholat yang tidak disyari’atkan untuk menjahrkan qiro’ah), dan berdzikir dalam sholat secara perlahan. Maka dengan perlahan lebih baik daripada jika dijahrkan.
- 
Yang ketiga, amalan yang terkadang disembunyikan dan terkadang dinampakkan seperti sedekah. Jika dia kawatir tertimpa riya’ atau dia tahu bahwasanya biasanya kalau dia nampakan amalannya dia akan riya’, maka amalan (sedekah) tersebut disembunyikan lebih baik daripada jika dinampakkan.
Adapun orang yang aman dari riya’ maka ada dua 
keadaannya:
- 
Yang pertama, dia bukanlah termasuk orang yang diikuti, maka lebih baik dia menyembunyikan sedekahnya, karena bisa jadi dia tertimpa riya’ tatkala menampakkan sedekahnya.
- 
Yang kedua, dia merupakan orang yang dicontohi, maka dia menampakan sedekahnya lebih baik karena hal itu membantu fakir miskin dan dia akan diikuti. Maka dia telah memberi manfaat kepada fakir miskin dengan sedekahnya dan dia juga menyebabkan orang-orang kaya bersedekah pada fakir miskin karena mencontohi dia, dan dia juga telah memberi manfaat pada orang-orang kaya tersebut karena mengikuti dia beramal soleh.” Qowa’idul Ahkam 1/125 (Sebagaimana dinukil oleh Sulaiman Al-Asyqor dal kitabnya Al-Ikhlash hal 128-129).
Tentunya kita lebih mengetahui diri kita, kita 
termasuk orang yang aman dari riya atau tidak.
Mengobati penyakit cinta 
ketenaran
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya kalian mengetahui dosa-dosaku maka tidak ada dua orangpun yang berjalan di belakangku, dan kalian pasti akan melemparkan tanah di kepalaku, aku sungguh berangan-angan agar Allah mengampuni satu dosa dari dosa-dosaku dan aku dipanggil dengan Abdullah bin Rowtsah”. (Al-Mustadrok 3/357 no. 5382).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, ((“Untaian 
kalimat ini adalah madrasah (pelajaran), dan hal ini tidak diragukan lagi karena 
tersohornya seseorang mungkin terjadi jika orang tersebut memiliki kelebihan 
diantara manusia, bahkan bisa jadi orang-orang mengagungkannya, bisa jadi 
orang-orang memujinya, bisa jadi mereka mengikutinya berjalan di belakangnya. 
Seseorang jika semakin bertambah ma’rifatnya kepada Allah maka ia akan sadar dan 
mengetahui bahwa dosa-dosanya banyak, dan banyak, dan sangat banyak. Oleh karena 
tidaklah suatu hal yang mengherankan jika Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam 
mewasiatkan kepada Abu Bakar –padahal ia adalah orang yang terbaik dari umat ini 
dari para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam - yang selalu membenarkan 
(apa yang dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam-pen), yang Nabi 
shalallahu ‘alaihi wasallam telah berkata tentangnya, “Jika ditimbang iman Abu 
Bakar dibanding dengan iman umat maka akan lebih berat iman Abu Bakar”, namun 
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkannya untuk berdo’a di akhir 
sholatnya, “Robku, sesungguhnya aku telah banyak mendzolimi diriku dan tidak ada 
yang mengampuni dosa-dosa kecuali engkau maka ampunilah aku dengan 
pengampunanMu”. Yang mewasiatkan adalah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan 
yang diwasiatkan adalah Abu Bakar As-Shiddiq. Semakin bertambah ma’rifat seorang 
hamba kepada Robnya maka ia akan takut kepada Allah, takut kalau ada yang 
mengikutinya dari belakang, khawatir ia diagungkan diantara manusia, khawatir 
diangkat-angkat diantara manusia, karena ia mengetahui hak-hak Allah sehingga 
dia mengetahui bahwa ia tidak akan mungkin menunaikan hak Allah, ia selalu 
kurang dalam bersyukur kepada Allah, dan ini merupakan salah satu bentuk 
dosa.
Diantara manusia ada yang merupakan qori’ 
Al-Qur’an dan tersohor karena keindahan suaranya, keindahan bacaannya, maka 
orang-orangpun berkumpul di sekitarnya. Diantara manusia ada yang alim, tersohor 
dengan ilmunya, dengan fatwa-fatwanya, dengan kesholehannya, kewaro’annya, maka 
orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya.
Diantara mereka ada yang menjadi da’i yang 
terkenal dengan pengorbanannya dan perjuangannya dalam berdakwah maka 
orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya karena Allah telah memberi petunjuk 
kepada mereka dengan perantaranya. Demikian juga ada yang terkenal dengan 
sikapnya yang selalu menunaikan amanah, ada yang tersohor dengan sikapnya yang 
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan demikianlah… Posisi terkenalnya 
seseorang merupakan posisi yang sangat mudah menggelincirkan seseorang, oleh 
karena itu Ibnu Mas’ud mewasiatkan kepada dirinya sendiri dengan menjelaskan 
keadaan dirinya (yang penuh dengan dosa), dan menjelaskan apa yang wajib bagi 
setiap orang yang memiliki pengikut…
Hendaknya setiap orang yang tersohor (dengan 
kebaikan) atau termasuk orang yang terpandang untuk selalu merendahkan dirinya 
diantara manusia dan menampakkan hal itu, bukan malah untuk semakin naik 
derajatnya di hadapan manusia namun agar semakin terangkat derajatnya di hadapan 
Allah, dan ini semua kembali kepada keikhlasan, karena diantara manusia ada yang 
merendahkan dirinya di hadapan manusia namun agar tersohor dan ini adalah 
termasuk (tipuan) syaitan. Dan diantara manusia ada yang merendahkan dirinya di 
hadapan manusia dan Allah mengetahui hatinya bahwasanya ia benar dengan sikapnya 
itu, ia takut pertemuan dengan Allah, ia takut hari di mana dibalas apa-apa yang 
terdapat dalam dada-dada, hari di mana nampak apa yang ada disimpan di 
hati-hati, tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah dan mereka tidak bisa 
menyembunyikan pembicaraan mereka di hadapan Allah.
Ini adalah pelajaran yang berharga bagi setiap 
yang dipanuti dan yang mengikuti. Adapun pengikut maka hendaknya ia tahu bahwa 
orang yang diikutinya itu tidak boleh diagungkan, namun hanyalah diambil faedah 
darinya berupa syari’at Allah atau faedah yang diambil oleh masyarakat, karena 
yang diagungkan hanyalah Allah kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. 
Adapun manusia yang lain maka jika mereka baik maka bagi mereka rasa cinta pada 
diri kita. Dan hendaknya orang yang tersohor untuk selalu takut, rendah, dan 
mengingat dosa-dosanya, mengingat bahwa ia akan berdiri di hadapan Allah, ingat 
bahwasanya ia bukanlah orang yang berhak diikuti oleh dua orang di 
belakangnya.
Oleh karena itu tatkala Abu Bakar dipuji di 
hadapan manusia maka ia berkutbah setelah itu dan riwayat ini shahih sebagaimana 
diriwayatkan oleh imam Ahmad dan yang lainnya ia berkata: “Ya Allah 
jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka persangkakan dan ampunkanlah 
apa-apa yang mereka tidak ketahui”, ia mengucapkan doa ini dengan keras 
untuk mengingatkan manusia bahwasanya ia memiliki dosa sehingga mereka tidak 
berlebih-lebihan kepadanya. Apakah hal ini sebagaimana yang kita lihat pada 
kenyataan dimana orang yang diagungkan semakin menjadi-jadi agar diagungkan 
dirinya??, orang yang mengagungkan juga semakin mengagungkan orang yang 
diikutinya?? Ini bukanlah jalan para sahabat radhiallahu ‘anhum, Umar terkadang 
ujub dengan dirinya -dan dia adalah seorang khalifah, orang kedua yang 
dikabarkan dengan masuk surga setelah Abu Bakar-, maka ia pun memikul suatu 
barang di tengah pasar untuk merendahkan dirinya hingga ia tidak merasa dirinya 
besar.
Diantara kesalahan-kesalahan adalah sifat ujub 
(takjub dengan diri sendiri), yaitu seseorang memandang dirinya waw (hebat). Ada 
diantara salafus shalih yang jika hendak menyampaikan suatu (mau’idzoh) dan jika 
ia melihat orang-orang berkumpul maka iapun meninggalkan majelis tersebut, 
kenapa?, karena keselamatan jiwanya lebih utama dibandingkan keselamatan jiwa 
orang lain, karena ia melihat ramainya orang yang telah berkumpul dan ia 
menyadari bahwa dirinya mulai merasakan bahwa dirinya senang karena kehadiran 
mereka, yang pada diam memperhatikannya, dan memperhatikannya, maka iapun 
mengobati dirinya dengan meninggalkan mereka maka merekapun membicarakannya 
akibat hal tersebut, Namun yang paling penting adalah keselamatan jiwa dan 
hatinya dihadapan Allah. Dan keselamatan hatinya lebih utama dibandingkan 
keselamatan hati orang lain…”)). (Dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh yang 
berjudul Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud).
Riya itu samar
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin 
‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat 
(Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata 
kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis 
(pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata 
kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini 
adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu 
Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang terbaik 
lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih perkataanku yang 
terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan 
aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras 
daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku 
semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
Perhatikanlah wahai saudaraku… sesungguhnya 
hanyalah orang-orang yang beruntung yang memperhatikan gerak-gerik hatinya, yang 
selalu memperhatikan niatnya. Terlalu banyak orang yang lalai dari hal ini 
kecuali yang diberi taufik oleh Allah. Orang-orang yang lalai akan memandang 
kebaikan-kebaikan mereka pada hari kiamat menjadi kejelekan-kejelekan, dan 
mereka itulah yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya.
“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari 
apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka 
dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az Zumar: 48).
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia 
perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka 
berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi: 104). 
Maroji’:
- 
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi
- 
Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
- 
Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq Al-Arnauth
- 
Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik Romadhoni, maktabah Al-Asholah
- 
Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama
- 
Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi
- 
Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
- 
Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
- 
Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil, Dar Toibah
- 
Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh
- 
Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid
Sumber: http://muslim.or.id/?p=190
 
 
 
 
 
 
 

0 komentar:
Post a Comment