Semoga Keselamatan, rahmat dan Barakah Allah atas engkau ya syaikh, saya bersaksi kepada Allah Azza wa jalla, sesungguhnya saya mencintaimu karena Allah.
Pertanyaan saya kepadamu dalam topik “Asy Syari’ah wal Al Hayaat” yang dipublikasikan di kawasan jazirah Arab, tanggal 15/8/2010, disebutkan bahwa telah ada pertemuan dengan Al Qordhawiy (Dr. Yusuf Al Qordhawiy) yang isinya, menurut saya ada perkataannya yang menyimpang tentang Al Khimar (Niqab). Dia tidak menguatkan pemakaian Niqab (cadar) bagi muslimah, dan tidak menyatakan bahwa niqab adalah kewajiban bagi para muslimah.
Adapun keanehan perkataan Al Qordhawiy adalah:
- Bahwa Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi telah mengambil perkataan imam Ahmad –rahimahullah-, Dia mengatakan bahwa Imam Ahmad berpendapat bahwa Niqab (tutup muka/cadar) hukumnya tidak wajib. Pertanyaannya, apakah perkataan yang diambil dari Imam Ahmad ini shahih?
- Al Qordhawiy berdalil tidak wajibnya niqob berdasarkan firman Allah ta’ala, “Katakanlah kepada laki-laki beriman, agar mereka menahan pandangannya,” [An Nur 30]. Kemudian mengatakan, “Seandainya seorang muslimah tidak bisa dilihat darinya sesuatu pun, maka kenapa mereka (laki-laki) diperintah untuk menahan pandangan…!!
Maka, bagaimana pendapatmu (ya, Syaikh) tentang istidlal ini? Semoga Allah memberi barokah dan jaza’ kepada engkau, serta orang-orang yang beriman dengan sebaik-baik jaza’!!
Dijawab oleh Anggota Al Lajnah Asy Syar’iyyah Fil Minbar Asy Syaikh Abu Humam Bakr bin Abdil Aziz Al Atsary.
Semoga keselamatan atas kalian, Rahmat Allah dan Barakah-Nya.
Sesungguhnya hukum pembatasan aurat merupakan hal yang Nisbi (telah turun-temurun dari generasi awal), maka batas aurat laki-laki berbeda dibanding dengan aurat wanita muslimah, dan aurat muslimah dihadapan muslimah lainnya berbeda dibanding ketika shalat. Demikian pula aurat muslimah dalam shalat berbeda dibanding ketika muslimah berhadapan dengan laki-laki Ajnabi (bukan mahrom)… dan seterusnya telah ada ketetapan-ketetapan syar’iy dalam hal-hal tersebut.
Sebagaimana yang anda (penanya) ketahui, bahwa termasuk hal yang cacat, apabila mengambil perkataan dari seorang alim diantara para ulama’, yang berpendapat tentang aurat muslimah di dalam shalat, namun kemudian tidak dikembalikan (merujuk) kepada para salaf dalam masalah itu. Dan membuat image khusus bagi manusia, bahwa dia telah berpendapat tentang masalah aurat muslimah di hadapan laki-laki ajnabi.
Al Imam ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata, “Tidak ada perselisihan Madzhab dalam hal bolehnya bagi Muslimah membuka wajahnya dalam shalat. Dan hal itu bukan berarti baginya menyingkap apa yang selain wajah-Nya dan kedua telapak tangannya.” (Lihat Al Mughny, 2/155 dan Al ‘Udah Syarhul Umdah hal 70).
Al Qordhawy dan orang-orang yang sepemikiran dengannya, ketika menukil perkataan ini atau yang semakna dengannya dari apa yang telah Imam ibnu Qudamah sebutkan, mereka memaksudkan sebagai syarat shahnya shalat, atau dalam kondisi seorang muslimah sedang melakukan ihrom. Sungguh hal ini adalah hal yang cacat dan mendudukan perkataan tidak sesuai dengan maksud sebenarnya.
Mirip dengan apa yang telah disampaikan oleh Al Qordhawy dalam masalah ini, syaikh Al Albany dalam kitabnya “Ar Rod Al Mufham” hal 8-9, ketika mengatakan: “Hal itu adalah pilihan Imam ibnu Qudamah Al Maqdisi di dalam Al Mughny, 1/637, berdalil dengan pilihannya itu, adanya larangan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bagi muslimah yang melakukan ihrom dari memakai sarung tangan, jika dikatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat, tentu ketika melakukan ihrom keduanya mesti ditutup. Karena suatu keperluan itu menuntut pada penyingkapan wajah, seperti untuk menjual dan membeli, dan kedua telapak tangan berguna untuk mengambil dan memberikan (barang).”
Bila kita merujuk kepada (kitab) Al Muwatha’, Imam Malik rahimahullah, maka syaikh Al Albaniy mengisyaratkan pendapatnya kepadanya. Kita akan dapatkan dengan pandangan dan ketelitian bahwa perkataannya dan pengambilan dalilnya dalam masalah ini dikaitkann dengan jumhur. Ketika berkata imam ibnu Qudamah –rahimahullah-, “Telah berkata Imam Malik dan Al Auza’i juga Asy Syafi’i, bahwa seluruh (tubuh) wanita adalah aurat, kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya. Dan apa yang selain itu wajib ditutup di dalam shalat.” Karena itu ibnu Abbas –radliyallahu ‘anhu- telah berkata, dalam mensifati firman Allah ta’ala.” Dan janganlah menampakkan perhiasan (auratnya), kecuali yang biasa nampak.” (QS. An Nur 31).
Ibnu Abbas –radliyallahu ‘anhu- berkata, “(Maksud ayat tersebut) adalah wajah dan kedua telapak tangan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (melarang bagi muslimah yang melakukan ihrom dari memakai sarung tangan dan niqob). Kalau seandainya wajah dan kedua telapak tangan aurat, tentu ketika ihrom keduanya mesti ditutup, karena suatu keperluan itu menuntut pada penyingkapan wajah, seperti untuk menjual dan membeli, dan kedua telapak tangan berguna untuk mengambil dan memberikan (barang).”
Dalam hal ini, pengambilan dalil tersambung dari perkataan jumhur, tetapi tidak terhadap Al Hanabalah (Madzhab Hambali). Dan yang paling shahih dalam masalah ini adalah perkataan Al Hanabalah. Telah berkata Abu Bakar bin Haris bin Hisyam,” Al Mar’ah (wanita) seluruhnya aurat hingga ujung-ujung kukunya.” (Al Mughniy, 2/156)
Adapun orang yang mengambil dalil dengan firman Allah, “Katakanlah kepada laki-laki beriman, agar mereka manahan pandangannya.” (QS An Nur 30), atas tidak wajibnya penutup wajah (Niqob) bagi muslimah, maka hal ini pengambilan dalil (Istidlal) yang ghorib (tidak dikenal)!!
Dan seandainya ada yang berdalil dengan ayat tersebut (QS An Nur 30) atas wajibnya Niqob bagi muslimah, maka hal itu sudah sangat mencukupi (benar).
Ketika kewajiban menutup wajah telah dilakukan mar’ah, maka jika tersingkap dari hal-hal yang menutupi atau semisalnya, maka berlaku atas para laki-laki mukmin anjabi untuk menahan pandangannya. Dan demikian pula, sungguh wajib menahan pandangan dari wanita-wanita pendosa (yang biasa membuka aurat), yaitu mereka yang durhaka terhadap perintah-perintah Allah ta’ala dan perintah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mereka menampakkan aurat di jalan-jalan (tempat-tempat umum). Hal ini terjadi karena kebanyakan wanita tidak memiliki gambaran (ilmu) pelaksanaan perintah-perintah Robbaniyyah dan melazimi sunnah-sunnah Nabawiyyah, kecuali mereka yang di kehendaki Allah Ta’ala.
Sebagaimana yang telah digambarkan dalam hadits dari ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu, ia telah berkata, tetlah bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika Aku melihat Neraka, maka (tiba-tiba) kebanyakan penghuninya adalah para wanita.” (Mutafaq Alaih).
Ambil contoh di antara perkataan yang jelas, telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad dari Ali –radliyallahu ‘anhu-, beliau berkata, telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Janganlah kamu tampakkan pahamu, dan janganlah kamu memandang paha (yang tersingkap) baik dari orang yang hidup maupun dari orang yang telah meninggal.” (Shahih lighairi, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Al Arnauth).
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu tampakkan pahamu,” menunjukkan bahwa paha adalah aurat dan wajib menutupnya. Kemudian perkataan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan janganlah kamu memandang paha (yang tersingkap) baik dari orang yang hidup maupun dari orang yang telah meninggal.” Menunjukkan perintah menahan pandangan (dari aurat).
Maka tidak benar perbandingan yang dilakukan oleh Al Qordhawy, dengan mengambil penggalan akhir hadits untuk membatalkan (menggugurkan) bagian yang awal, hinnga ia mengatakan bahwa, “Pahamu itu bukanlah aurat secara mutlak, karena telah ada perintah menahan pandangan darinya…!!” Wallahu ‘alam
Alih Bahasa: Abu Yusuf Al-Indunisiy
23 Dzul Hijjah 1432 H,
di Mu’taqol Thaghut Jakarta Barat.
0 komentar:
Post a Comment